Hijrahnya Para Dokter Muslim Ke Thibbun Nabawi
Seminar bekam yang diadakan oleh ABI (Asosiasi Bekam Indonesia) di Semarang, Ahad, 22 Maret 2009 tergolong seminar bekam paling unik yang pernah saya ikuti. Unik karena inilah seminar pertama tentang bekam di mana ketua panitia, narasumber, dan moderator seminar, semuanya dokter. Peserta yang mengajukan pertanyaan di sesi dialog pun kebanyakan dokter. Lebih unik lagi, semua pembicara menyimpulkan bahwa bekam merupakan metode pengobatan “terbaik”. Ah, yang benar? Masak iya? Kok bisa?
Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, M. Kes, narasum ber utama dalam seminar ini membawakan makalah berjudul : “Tinjauan Biomolekuler dan Immunologi Bekam”. Dengan lugas dan cerdas, dokter sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran UNISBA yang meraih gelar doktoral di bidang immunologi dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini menguraikan cara kerja sistem kekebalan tubuh manusia, bagaimana sistem yang menjaga kesehatan tubuh manusia secara cerdas dan ajaib ini bisa terganggu, lantas bagaimana bekam bisa menjadi sarana efektif untuk melatih dan meningkatkan kinerja sistem kekebalan.
Dr. Wadda’ A. Umar, narasumber kedua, berbicara tentang “Bukti-bukti Keajaiban Bekam”. Dokter sekaligus penulis buku “Sembuh dengan Satu Titik” ini menguraikan banyak slide yang menunjukkan hasil-hasil riset yang membuktikan efektivitas terapi bekam untuk mengatasi berbagai penyakit berat seperti: hemofilia, kemandulan, leukemia, artritis, hodgkin desease, sindroma bahchet, dan sebagainya. Semua hasil riset laboratorium tersebut dilakukan oleh tim medis dan farmasi yang kredibel di bawah lembaga yang berkompeten di bidang kesehatan di berbagai negara, utamanya Eropa, Cina, dan Timur Tengah. Sayang, tidak ada satu pun riset yang dilakukan di Indonesia.
Seminar yang dihadiri oleh ratusan peserta yang memenuhi ruangan lantai satu dan dua balaikota Semarang ini berlangsung hangat. Apalagi, dr. Zaidul Akbar, moderator seminar sangat pandai menghangatkan suasana dengan motivasi-motivasi maupun joke-joke segarnya. Menurut dr. Ali Ridho, salah satu tujuan diadakannya seminar ini adalah untuk mensosialisasikan terapi bekam sebagai metode terapi thibun nabawi yang terbukti berkhasiat mengatasi berbagai penyakit yang sangat sulit ditangani dengan metode pengobatan lain.
Satu hal lagi yang membuat acara ini istimewa bagi saya, saya berangkat bersama rombongan peserta seminar dari Solo yang jumlahnya empat belas orang dan salah satunya adalah Dr. dr. Subagyo Sukiman, Sp.U. Dokter senior spesialis urologi ini mempunyai kisah unik, sehingga tertarik mengikuti seminar. Dua hari sebelumnya, Dokter Subagyo bercerita memiliki keluhan nyeri di punggung. Katanya, rasanya seperti “dipantek”. Sudah diobati. Juga sudah diterapi dengan pijat refleksi. Sayangnya, rasa nyeri tak kunjung pergi. Saat itu, saya dan teman-teman menyarankan dokter untuk berbekam.
Subhanallah, sehari setelah berbekam, dokter mengatakan kepada salah seorang teman saya, bahwa rasa nyeri itu sudah hilang. Dan dokter pun memutuskan untuk ikut serta dalam seminar ini, setelah membatalkan salah satu acara penting yang sudah beliau jadwalkan. “Kalau ada yang meragukan efektifitas bekam, suruh dia datang kepada saya”, kata beliau seusai seminar.
Alhamdulillah, saya mengucap syukur kepada Allah. Bukti kebenaran thibbun nabawi semakin terkuak. Bukan hanya hadits tentang bekam yang sahih, tapi risetnya pun sahih. Apalagi testimoni tentang efektifitas terapi ini sudah mutawatir, terlalu banyak untuk dihitung. Sungguh kasihan orang yang membutuhkan terapi ini, namun karena kurang mengerti, justru bersikap antipati. Tampaknya, acara-acara seperti ini harus terus diadakan di berbagai kota lain. Kapan di Solo?Wallahu a’lam.
SUMBER :
http://hawinmurtadlo.wordpress.com/2009/03/25/ketika-dokter-rame-rame-
bicara-bekam/
PENGABDIAN MEDIS plus MISI DAKWAH PARA DOKTER MUSLIM
Di tengah prestisenya profesi seorang dokter konvensional, para “dokter” Tibun Nabawi (pengobatan ala Nabi) ini tidak segan-segan menanggalkan kenikmatan profesi dokter konvensional itu, untuk sebuah tujuan yang lebih besar: sunnah
Rasulullah Saw. Ikuti kisah menarik 3 “dokter” ini.
Dokter Zaidul Akbar, Dokter Herbalis
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tahun 2003 ini terjun di dunia Tibun Nabawi (pengobatan ala Nabi) sejak tiga tahun terakhir. Ketertarikannya pada Tibun Nabawi dimulai ketika ia banyak membaca
hadis-hadis Nabi berkaitan dengan kesehatan dan pengobatan penyakit pada masa Nabi dan para sahabat.
Tak heran, meski sudah beberapa kali membuka praktik di berbagai klinik kesehatan dan rumah sakit konvensional, ketertarikan Zaidul terhadap Tibun Nabawi tetap kuat. Salah satu alasannya, karena dalam Tibun Nabawi selalu ada tiga konsep dasar, yaitu alamiah, ilahiah dan wathaniah.
Konsep alamiah artinya setiap bahan yang digunakan untuk pengobatan memakai bahan-bahan alami yang tidak berbahaya bagi tubuh. Konsep ilahiah artinya konsep pengobatan Tibun Nabawi selalu berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan wathaniah artinya selalu mengoptimalkan bahan dari daerah-daerah tertentu sebagaimana
Allah menciptakan beraneka ragam tumbuhan di dunia dengan khasiat yang berbeda-beda.
Setelah menggeluti dunia Tibun Nabawi, Zaidul merasakan kepuasan tersendiri. Selain bisa menolong orang lain, ia juga bangga bisa menjadi murid Rasulullah—dokter terbaik umat Islam. “Rasa bangga ini berdampak pada bidang finansial dengan mendapatkan penghasilan yang tidak hanya untuk pribadi, tapi untuk berjuang di
jalan Allah,” tandasnya.
Sebagai dokter yang memegang etika kedokteran, rasa bersalah selalu menyelimuti dirinya ketika memberikan solusi kesehatan yang tidak pasti plus biaya obat yang tidak kecil. Nah, Tibun Nabawi menawarkan alternatif pengobatan yang tak hanya dilakukan melalui terapi obat, tapi juga melalui terapi spiritual, seperti membaca ayat Al-Qur’an, zikir dan praktik-praktik spiritual lainnya. “Inilah kelebihan Tibun Nabawi,” ujar Zaidul.
Secara proses, Tibun Nabawi menangani pasien sebagaimana penanganan yang diberikan pada ilmu kedokteran pada umumnya, yaitu wawancara, diagnosa tubuh dan terapi pengobatan. Beberapa terapi pengobatan bisa menjadi pilihan di antaranya, terapi obat, bekam, akupunktur, refleksi, urut, pijat dan pembetulan tulang belakang, sesuai penyakit yang diderita.
Kelebihannya, setiap pasien akan ditangani oleh dokter yang sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing sehingga bisa dilakukan pengobatan yang maksimal. Karena itu, Zaidul mengajak para praktisi kesehatan yang sudah lama berkecimpung di dunia medis untuk mendalami Tibun Nabawi. Pasalnya, dalam Tibun Nabawi terdapat banyak keajaiban dan kedahsyatan yang tidak bisa ditemukan dalam dunia kedokteran umum.
“Saya akan teruskan pengobatan seperti ini, karena dalam pengobatan Tibun Nabawi ini antara perjuangan, pengobatan, ekonomi dan dakwah, semua berjalan beriringan,” tegas Dokter Zaidul Akbar.
***
Dokter Agus Rahmadi, Direktur Klinik Sehat
Ketika masih praktik sebagai dokter umum, Dokter Agus Rahmadi selalu memberi resep kepada pasiennya dengan obat-obatan berbahan baku kimia. Ini tentu hal yang wajar sebagai dokter. Masalahnya, ternyata tak sedikit dari resep obat-obatan itu yang ia ketahui mengandung alkohol dan terbuat dari babi, plasenta bayi dan unsur-unsur lainnya yang tidak halal.
Padahal, sebagian besar pasien yang ia beri resep tersebut adalah umat Islam. “Bisa jadi, saya nanti menjadi orang yang rugi di akhirat,” jelas Dokter Agus. Dalam sebuah hadis dijelaskan, setiap orang yang mengonsumsi alkohol meski sedikit
tetap haram dan amal ibadahnya tak diterima selama 40 hari.
Hal lain yang membuat Agus semakin terpanggil untuk mengembangkan pengobatan Islami adalah banyaknya praktik pengobatan berbau klenik dan mistis yang jauh dari yang pernah dicontohkan oleh Nabi. “Belajar Tibun Nabawi adalah mempelajari cara hidup (sunnah) Nabi,” ujarnya.
Contoh sederhana sunnah Rasul adalah tidur miring ke kanan. Setelah diteliti secara medis, ternyata hal itu bisa mencegah pikun, migran dan beberapa penyakit lain. Senyuman seperti yang dianjurkan Nabi juga bisa mencegah hipertensi, jantung dan stroke. Begitu juga cara makan Nabi yang mengangkat kaki kanannya ternyata bisa mencegah penyakit esalfagitis dan deskritis.
Belum lagi terapi puasa, shalat tahajjud, wudhu dan gerakan-gerakan shalat, juga mengandung hal yang positif untuk kesehatan. “Artinya, untuk hidup sehat tidak perlu pendapat dokter atau profesor, karena dengan menjalankan sunnah-sunnah Rasul kita akan hidup sehat,” ujarnya.
Setelah banyak mengungkap ilmu Tibun Nabawi, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mulai yakin bahwa pengobatan Tibun Nabawi ini adalah solusi tepat bagi kesehatan umat Islam.
Pada tahun 2007, ia mulai meninggalkan praktik pengobatan berbahan kimia dan beralih ke pengobatan Tibun Nabawi dengan mendirikan Klinik Sehat di Swadarma, Jakarta Selatan.
Ada beberapa langkah pengobatan yang biasa dilakukan Dokter Agus.
Pertama,
menangani sikap tauhid pasien agar meyakini bahwa yang memberi penyakit dan menyembuhkannya adalah Allah Swt., bukan obat atau dokter.
Kedua,
menanamkan keikhlasan kepada pasien bahwa sakit adalah proses diangkatnya dosa-dosa yang pernah diperbuat. Ketiga,
melaksanakan sunnah Rasul ketika menjenguk orang sakit dengan memegang bagian yang sakit dan mengucapkan doa kesembuhan untuknya.
Tahap pengobatan pasien dilakukan dengan menangani akidah, membenahi akhlak, menghidupkan sunnah, terapi jus dan pengobatan herbal. “Jika ada penyakit yang harus ditangani dengan obat kimia, usahakan menggunakan obat yang tidak haram,” ujarnya.
Sejak 2007 hingga sekarang, sudah dibangun 2 rumah sakit, 15 klinik sehat dan puluhan Rumah Terapi Sehat (RTS) di seluruh Indonesia. Animo masyarakat terhadap layanan kesehatan berbasis Tibun Nabawi cukup tinggi. Pasiennya datang dari berbagai level pendidikan dan strata sosial.
Hadirnya pengobatan Tibun Nabawi ini diharapkan bisa menjadi solusi masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang Islami. Karena pada dasarnya pengobatan kimia hanya dikembangkan oleh kalangan Yahudi dan Nasrani untuk kepentingan mereka.
Tantangan sudah pasti banyak yang menghadang di antaranya banyak dicerca tentang keilmiahan obat-obat herbal. Untuk mengatasi hal ini, Dokter Agus mengumpulkan berbagai macam data yang relevan atas pengobatan Tibun Nabawi. Dari sana ia membuktikan data yang bisa diterima masyarakat.
***
Dokter Ali Thoha, Klinik Sehat Afiat
Pada mulanya Ali Thaha lebih tertarik menjadi mahasiswa Fakultas Teknik ketimbang Fakultas Kedokteran. Tapi karena menuruti saran orang tuanya, ia pun masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) tahun 1979. “Kamu nanti tak hanya untung di dunia tapi juga di akhirat,” pesan sang ibu kala itu.
Namun begitu, sebagai anak yang ingin berbakti kepada orangtuanya, Ali tetap optimis menatap masa depannya sebagai dokter. Dalam hati ia sudah berjanji akan menggunakan ilmu kedokterannya untuk menolong orang lain sebisa mungkin.
Setelah lulus kuliah, pria kelahiran Solo, 10 November 1959 ini mengikuti pengabdian di sebuah daerah terpencil di Longkiran, Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Timur memang bukan medan yang mudah ditaklukkan. Untuk mencapai lokasinya, Dokter Ali harus berjuang menaklukkan luasnya samudra menggunakan perahu kecil selama sehari semalam.
Selama menjalani pengabdian di Longkiran, siang-malam Dokter Ali merawat banyak pasien dengan berbagai macam penyakit. Ia mengaku banyak belajar dari proses pengabdiannya. Dan yang paling penting, ia menemukan beberapa kasus penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan cara medis.
Hal ini hampir membuat dirinya depresi, karena sebelum itu, ia termasuk orang yang sangat yakin bahwa segala penyakit bisa ditangani secara medis.
Dari situ, pemilik nama lengkap Muhammad Ali Thaha Assegaf ini semakin memahami bahwa jalan untuk mencari kesembuhan itu tak hanya dari satu pintu (medis dan obat kimia) melainkan dari beberapa pintu baik melalui obat tradisional atau obat alami. “Saya mulai sadar, kesembuhan itu tidak datang dari obat atau manusia, tapi dari Allah,” ujar penemu Formula Propoten ini.
Sejak itu, pada tahun 1993, Dokter Ali mulai melirik metode pengobatan lain seperti pengobatan tradisional, akupunktur dan Tibun Nabawi. Ali pun mulai belajar akupunktur untuk menangani berbagai macam penyakit saraf seperti nyeri dan
stroke. Ia juga belajar pengobatan tradisional yang lebih banyak memanfaatkan tanaman obat seperti jahe, temu lawak dan lain-lain. Tak ketinggalan, ia juga belajar Tibun Nabawi dari Kitab Tibun Nabawi karangan Ibnu Qoyim al-Jauzi dan beberapa referensi lainnya.
Setelah beberapa tahun menyerap ilmu Tibun Nabawi, pendiri Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Kesehatan Islam (LP3KI) Jakarta ini mulai mempraktikkan metode Tibun Nabawi pada dirinya. Sebagai contoh, ketika
merasakan radang tenggorokan saat bulan puasa, ia tidak lagi minum obat anti biotik namun minum ramuan alami yang terbuat dari wedang jahe.
Menurut Dokter Ali, obat alami ini lebih cepat bereaksi untuk menyembuhkan radang tenggorokan dan berbagai penyakit lain. Bahkan ia juga mulai mengatur pola makan dan memperbaiki cara wudhunya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. Di balik syariat Islam tersebut ternyata terkandung hikmah kesehatan yang luar biasanya bagi tubuh manusia.
Dalam ritual wudhu misalnya, ternyata ada beberapa gerakan memijat tubuh yang berpengaruh pada peningkatan kesehatan tubuh. Jika dikaitkan dengan ilmu Tibun Nabawi dan akupunktur: muka, tangan, kepala, telinga, dan kaki memiliki titik-titik refleksi yang akan berpengaruh pada kesehatan. “Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah berwudhu secara khusyu’, memijat semua bagian yang harus dibasuh air dengan pelan dan teliti,” jelasnya.
Ada tiga hal yang disarankan Dokter Ali untuk mulai hidup sehat.
Pertama,
berwudhu dengan sungguh-sungguh, yaitu memijat setiap bagian yang akan dibasuh air.
Kedua,
memperbaiki konsumsi air setiap hari, yaitu 30 cc per kilogram berat badan per hari. “Jika berat badannya 80 kg, dikalikan 30, maka air yang diminum 2.400 cc atau sekitar 10 gelas,” ujarnya.
Ketiga,
dengan shalat khusyu’ tuma’ninah (tidak tergesa-gesa) karena beberapa gerakan dalam shalat terbukti memiliki pengaruh tersendiri bagi kesehatan manusia. “Asalkan tidak melaksanakan shalat dengan tergesa-gesa hal ini menjadi manfaat meditasi yang luar biasa bagi kesehatan tubuh,” ujarnya.
Setelah banyak tahu tentang Tibun Nabawi, Dokter Ali pun melangkah lebih jauh dengan meramu beberapa obat herbal memanfaatkan kekayaan alam di Indonesia. Dengan dasar ilmu kedokteran yang dimiliki, ia nyaris tidak mengalami kesulitan untuk mengembangkannya.
“Saya mengambil referensi tanaman obat kemudian menggabungkannya dan mengorelasikan antara khasiat obat herbal dengan ilmu kedokteran,” ujarnya.
Akhirnya, setelah mantap mengombinasikan pengobatan alami, akupunktur dan Tibun Nabawi dengan ilmu kedokteran, maka pada tahun 2005 Dokter Ali mendirikan Klinik Sehat Afiat di Cinere dan Ciputat, serta mengawasi dua klinik herbal di
Serpong dan Pondok Kopi.
Menurut penulis buku 365 Tips Sehat Ala Rasulullah (2010) ini, animo masyarakat untuk menggunakan pengobatan Tibun
Nabawi semakin besar, dari kalangan atas sampai bawah. Untuk itu, ia mengimbau kepada praktisi Tibun Nabawi agar sama-sama menjaga metode pengobatan Nabi dengan menerapkan disiplin ilmu yang utuh. Di sisi lain, dukungan pemerintah juga sangat diperlukan untuk mengembangkan pengobatan Islami dan alami sehingga menjadi salah satu solusi pengobatan masyarakat.
Sumber: http://koranmuslim.com/2011/pengabdian-medis-plus-misi-dakwah/
Hijrahnya Para Dokter Muslim Ke Thibbun Nabawi